Senin, 09 Januari 2012

Hukum-Hukum Kepler

Hukum-Hukum Kepler

Oleh : Dr. Chatief Kunjaya

Hukum-hukum Kepler yang nampak begitu sederhana, ternyata tidak dihasilkan dengan mudah bahkan melalui kerja puluhan tahun. Prosesnya diawali dengan perancangan dan pembangunan fasilitas pengukuran koordinat benda langit raksasa yang disebut “quadrant” oleh Tycho Brahe. Dengan alat itu Tycho Brahe dapat melakukan pengukuran posisi benda langit dengan kecermatan melebihi alat lain di zamannya. Johannes Kepler (1571 – 1630) dapat menyusun hukumnya berdasarkan tumpukan data catatan hasil pengamatan Tycho Brahe yang memiliki kecermatan yang tinggi. Selama 25 tahun data dikumpulkan oleh Tycho Brahe yaitu data tinggi dan azimuth enam planet dari Merkurius hingga Saturnus. Data yang dikumpulkan oleh Tycho kemudian diolah, dianalisis dan diinterpretasikan oleh asistennya seorang ahli matematika Jerman yaitu Kepler setelah ia meninggal.
Hasil analisis Kepler terhadap data Tycho Brahe menunjukkan adanya perbedaan kecil tapi jelas dan mengandung keteraturan tertentu antara posisi planet yang diamati dengan yang dihitung dengan teori Ptolemeus atau Copernicus. Mengapa perbedaan ini tidak diketahui pada pengamatan sebelum zaman Tycho Brahe? Karena pengukuran sebelumnya tidak menggunakan alat yang akurat, sedangkan Tycho Brahe menggunakan “quadrant” alat ukur koordinat benda langit yang paling teliti saat itu. Sebelumnya, untuk mensinkronkan agar hasil pengamatan itu bisa cocok dengan teori heliosentris Copernicus, diperlukan epicycle yaitu lingkaran-lingkaran kecil yang merupakan komponen kedua lintasan orbit planet selain orbit utamanya yang berupa lingkaran yang berpusat di Matahari. Mengapa planet bisa bergerak dalam lingkaran kecil epicycle ? Tidak ada penjelasan.

Kepler menemukan kenyataan bahwa data posisi planet-planet yang dikumpulkan oleh Tycho Brahe itu lebih cocok jika orbit planet diperkenankan berbentuk elips dengan Matahari sebagai pusatnya. Dengan cara demikian, gerak planet-planet dapat dipahami dengan lebih sederhana, tidak diperlukan lagi epicycle-epicycle. Temuan ini kemudian diformulasikan oleh Kepler sebagai :
Planet-planet mengelilingi Matahari dalam orbit elips, dengan Matahari berada pada salah satu titik apinya.
Pernyataan ini kemudian terkenal sebagai Hukum Kepler I. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa kecepatan anguler sebuah planet mengelilingi matahari juga berubah menurut waktu. Pada saat planet lebih jauh dari Matahari gerak orbitnya lebih lambat, dan pada saat planet lebih dekat kecepatannya lebih tinggi. Hal ini kemudian dirumuskan dalam bentuk lebih kuantitatatif sebagai Hukum Kepler II yaitu :
Garis hubung Matahari – Planet menyapu daerah yang sama untuk selang waktu yang sama.
Luas seluruh elips adalah πab, yang ditempuh dalam waktu P, sehingga luas daerah yang disapu persatuan waktu adalah
L = πab/P
dengan a setengah sumbu panjang, b setengah sumbu pendek dan P periode. Sumbu a dan b berhubungan dengan eksentrisitas sebagai berikut :
b2 = a2(1-e2)
Berdasarkan pengamatan bahwa semakin jauh planet dari Matahari periode orbitnya semakin panjang, dan didukung dengan data pengamatan yang sangat banyak, diperolehlah hubungan antara sumbu panjang orbit planet dan periodenya sebagai berikut :
Setengah sumbu panjang orbit pangkat tiga berbanding lurus dengan periode pangkat dua
a3 = kT2
Pernyataan ini terkenal dengan sebutan hukum Kepler III
Harga k ini, pada awalnya belum diketahui tapi nilainya sama untuk keenam planet yang diamati. Hukum-hukum Kepler ini diperoleh secara empirik dari sifat keteraturan data posisi planet. Dapat dibayangkan sulitnya memperoleh kesimpulan seperti itu dengan cara coba-coba dari data. Tetapi menurunkan rumus hukum-hukum  ini menjadi mudah setelah Newton menemukan hukum atau teori tentang gerak, gravitasi dan kalkulus jauh setelah Kepler meninggal dunia. Bahkan kemudian konstanta-konstanta yang ada pada hukum Kepler dapat diperjelas sebagai berikut :
Luas daerah yang disapu oleh garis hubung matahari-planet tiap satuan waktu :
½ r2/dt = ½ √ ( GMo a(1-e)), Mo adalah massa Matahari
Dengan r dan dθ /dt  berturut-turut adalah jarak Matahari-Planet dan kecepatan sudut orbit pada suatu saat tertentu. Harga k pada hukum Kepler di atas adalah :
k = G Mo / 4 π2  




Credit By :  http://majalahastronomi.com
 TAKE OUT WITH FULL AND PROPER CREDITS  !!!!
 

ORBIT PLANET - PLANET

Orbit Planet-planet

Oleh : Dr. Chatief Kunjaya

Planet-planet berevolusi mengelilingi Matahari pada orbit yang hampir sebidang dengan arah putaran yang sama, juga searah dengan rotasi Matahari dan juga arah rotasi planet-planet kecuali planet Venus dan Neptunus. Orbit planet-planet umumnya hampir lingkaran. Fakta-fakta ini memberikan indikasi kuat bahwa Matahari dan planet-planet lahir melalui suatu mekanisme bersama, tidak saling bebas.
Pada Majalah Astronomi Vol 1 no 2, Maret 2009, Widya Sawitar sudah menjelaskan tentang bagaimana Tata Surya terbentuk dari pengerutan awan gas antar bintang. Awan yang mengerut itu akan berotasi sehingga terbentuk piringan. Bagian pusat akan menjadi Matahari, sedangkan pada piringan akan terbentuk pengerutan-pengerutan yang lebih kecil membentuk planet-planet. Karena orbit planet-planet berasal dari orbit piringan yang sama , maka dapat dipahami mengapa orbit planet-planet hampir sebidang dan masing-masing orbit itu berbentuk hampir lingkaran.
Sifat-sifat orbit ke delapan planet dapat diterangkan dengan baik oleh teori kabut dan teori protoplanet, tetapi sifat-sifat Pluto tidak. Tidak seperti orbit planet-planet lain yang hampir lingkaran, orbit Pluto lonjong sehingga kadang-kadang lebih dekat ke Matahari daripada planet Neptunus. Bidang orbitnya juga menyimpang 17° dari bidang orbit Bumi. Ukurannya tidak besar seperti planet-planet Jovian dan tidak diselubungi kabut gas tebal. Fakta-fakta ini membuat para astronom menduga, Pluto tidak lahir dengan cara yang sama dengan planet-planet lain. Maka sejak tahun 2006 Pluto tidak lagi dikategorikan planet melainkan planet kerdil.
Planet-planet yang lebih dekat ke Matahari dari pada Bumi, yaitu Merkurius dan Venus, nampak dari Bumi hanya pada pagi hari sebelum Matahari terbit atau sore hari setelah Matahari terbenam. Kedua planet itu nampak selalu mengikuti Matahari dari jarak yang tidak terlalu jauh. Jarak sudut antara planet dengan Matahari dilihat dari Bumi disebut elongasi. Paling jauh Merkurius hanya berjarak sudut sekitar 28° dari Matahari sedangkan Venus sekitar 47°. Karena orbit Bumi dan planet dalam berbentuk elips, sudut elongasi terbesar ini juga berbeda-beda dari satu periode ke periode berikutnya. Sudut-sudut itu, berturut-turut disebut elongasi terbesar Merkurius dan Venus. Hal ini dapat dijelaskan secara geometris pada gambar di bawah ini :
Elongasi VenusKarena dekatnya dengan Bumi, kalau sedang nampak, Venus seperti bintang yang sangat terang, ketiga paling terang di langit setelah Matahari dan Bulan. Maka Venus sering dinamai Bintang Pagi atau Bintang Timur kalau kebetulan nampak pada pagi hari dan disebut Bintang Sore ketika kelihatan sore hari. Dahulu Venus disebut bintang karena orang zaman dahulu tidak bisa membedakan bintang dengan planet. Ketika sudut elongasi planet 0° dikatakan planet dalam keadaan konjungsi. Konjungsi ada dua macam, jika planet berada diantara Bumi dan Matahari dikatakan planet dalam keadaan konjungsi inferior, sedangkan jika planet berada di belakang Matahari dikatakan konjungsi superior.
Pada saat konjungsi inferior, kalau planet Merkurius atau Venus tepat berada di bidang ekliptika diantara Bumi dan Matahari kita bisa mengamati fenomena transit, yaitu peristiwa melintasnya planet di piringan matahari. Karena cahaya matahari sangat terang planet yang transit akan tampak sebagai lingkaran hitam.
Peristiwa transit hanya bisa terjadi pada planet Merkurius dan Venus, saat itulah letak planet terdekat dari Bumi. Planet luar seperti Mars, Jupiter dan lain-lain tidak bisa mengalami transit karena tidak akan pernah bisa berada diantara Matahari dan Bumi. Saat planet luar terdekat dari Bumi adalah saat oposisi, yaitu ketika arah ke planet dan arah ke Matahari dari Bumi nampak berlawanan. Untuk pengamat di dekat khatulistiwa, ketika Mars oposisi, saat matahari terbenam Mars baru terbit, Mars akan nampak di atas horizon sepanjang malam dan nampak lebih terang dari pada saat-saat lain. Planet luar seperti Jupiter, Saturnus dan lain-lain tidak dapat dilihat pada saat konjungsi, karena berada di belakang Matahari.  Meskipun planet luar menyimpang sedikit dari keadaan konjungsi, sehingga tidak terhalang oleh piringan Matahari, tetap sulit melihatnya karena jauh dari Bumi sehingga lebih redup, diperparah lagi oleh gangguan cahaya matahari yang menyilaukan.
oposisi MarsApakah pada saat oposisi planet luar, Bumi dan Matahari satu garis lurus? Bisa! Tapi umumnya tidak persis satu garis lurus karena bidang orbit planet-planet dan bidang orbit Bumi tidak persis satu bidang, melainkan membentuk suatu sudut kecil.
Saat oposisi adalah saat terbaik mengamati planet luar, karena jaraknya yang dekat sehingga tampak lebih terang, lagi pula saat oposisi adalah saat planet luar nampak paling lama pada malam hari. Oposisi  yang sempat membuat heboh adalah oposisi planet Mars tahun 2003. Mengapa demikian menghebohkan ? padahal dalam waktu tidak sampai dua tahun bisa ada dua kali oposisi. Karena oposisi Mars 2003 adalah oposisi terdekat yang sangat jarang terjadi. Mars nampak sangat terang sehingga menjadi benda langit malam paling terang setelah Bulan. Mengapa ada oposisi dekat ada oposisi jauh? Karena orbit planet-planet tidak lingkaran sempurna, melainkan agak lonjong. Kelonjongan orbit planet dinyatakan dalam eksentrisitas e, yang didefinisikan sebagai berikut:
ellips
e = √(1-(b2 / a2))
Dengan a = setengah sumbu panjang elips
             b = setengah sumbu pendek
Jarak perihelion (terdekat dari Matahari) : a(1 - e)
Jarak aphelion (terjauh dari Matahari): a(1 + e)
Jika kebetulan pada saat oposisi Mars, Bumi dekat dengan aphelion (titik terjauh dari matahari) sedangkan Mars dekat dengan perihelion (titik terdekat dari Matahari), maka jarak Bumi – Mars menjadi lebih dekat daripada saat oposisi biasanya, dan Mars menjadi sangat terang.


Credit By : http://majalahastronomi.com

APLICATION OF REMOTE SENSING AND GIS FOR COASTAL ECOSYSTEM MANAGEMENT

 
APLICATION OF REMOTE SENSING AND GIS FOR COASTAL ECOSYSTEM MANAGEMENT


CHAPTER I


INTRODUCTION

A.  REMOTE SENSING

Remote sensing technology in recent years has proved to be of great importance in acquiring data for effective resources management and hence could also be applied to coastal environment monitoring and management (Ramachandran, 1993, Ramachandran et.al., 1997, 1998). Further, the application of GIS (Geographical Information System) in analyzing the trends and estimating the changes that have occurred in different themes helps in management decision making process.
Remote sensing is the measurement of object properties on earth’s surface usinng data acquired from aircraft and satellities. It attempts to measure something at a distance, rather than in situ, and for this research’s purposes, displays those measurements over a two-dimensional spatial grid, i.e. images. Remote sensing systems, particularly those deployed on satellites, provide a repetitive and consistent view of earth facilitating the ability to monitor the earth system and the effects of human activities on Earth. There are many electromagnetic (EM) band-lenght ranges Earth’s atmosphere absorbs. The EM band ranges transmittable through Earth’s atmosphere are sometimes referred to as atmospheric windows.
When electromagnetic radiation falls upon a surface, some of its energy is absorbed, some is transmitted through the surface, and the rest is reflected. Surfaces also naturally emit radiation, mostly in the form of heat. It is that reflected and emitted radiation which is recorded either on the photographic film or digital sensor. Since the intensity and wavelengths of this radiation are a function of the surface in question, each surface is described as processing a characteristic ʺSpectral Signatureʺ. If an instrument can identify and distinguish between different spectral signatures, then it will be possible to map the extent of surfaces using remote sensing. Satellite remote sensing is widely used as a tool in many parts of the world for the management of the resources and activities within the continental shelf containing reefs, islands, mangroves, shoals and nutrient rich waters associated with major estuaries.

B.  Geographical Information Systems
A Geographical Information System (GIS) is a system of hardware, software and procedures to facilitate the management, manipulation, analysis, modeling, representation and display of georeferenced data to solve complex problems regarding planning and management of resources. Functions of GIS include data entry, data display, data management, information retrieval and analysis. The applications of GIS include mapping locations, quantities and densities, finding distances and mapping and monitoring change.
Function of an Information system is to improve one’s ability to make decisions. An Information system is a chain of operations starting from planning the observation and collection of data, to store and analysis of the data, to the use of the derived information in some decision making process. A GIS is an information system that is designed to work with data referenced to spatial or geographic coordinates. GIS is both a database system with specific capabilities for spatially referenced data, as well as a set of operation for working with data. There are three basic types of GIS applications which might also represent stages of development of a single GIS application.

CHAPTER II

Application of Remote Sensing and GIS in Coastal Ecosystem Management

Based on remote sensing a variety of data pertaining to the coastal zone like, identification of plant community, biomass estimation, shoreline changes, delineation of coastal landforms and tidal boundary, qualitative estimation of suspended sediment concentration, chlorophyll mapping, bathymetry of shallow waters, etc. can be collected and all these data will help in effective coastal ecosystem management.
The latest Indian satellites IRS – 1C, 1D, P4 and P6 with their improved spatial resolution (PAN – 5.8 m, LISS III – 23.6 m, LISS IV – 5.8 m, WiFS – 188 m and AWiFS – 56 m), extended spectral range (inclusion of middle infrared band in LISS – III) and increased repetivity (5 days for WiFS data) have opened up new applications in coastal zone. Preliminary analysis of IRS – 1C, 1D data indicates that coral reef zonation, identification of tree and shrub mangroves, mudflats, beach, dune vegetation, saline areas, etc as well as better understanding of suspended sediment patterns are now possible. The PAN data combined with the LISS – III and LISS IV data are extremely useful in providing detailed spatial information about reclamation, construction activity and ecologically sensitive areas, which are vital for the coastal zone regulatory activities. The information available from merged PAN and LISS III, IV data about coral reef zonation, especially for atolls, patch reef and coral pinnacles, is valuable for coral reef conservation plans. The distinction between tree and shrub mangroves in FCC (middle infrared, infrared and red bands) of LISS III provides vital information on biodiversity studies (Ramachandran et. al., 2000a). The high temporal resolution provided by the WiFS data is found to be a major improvement in studying the behavior of suspended sediments in the coastal waters, which would help in understanding the movement of sediments and pollutants (Nayak et.al., 1996).







CHAPTER III

CONCLUSION

Coastal ecosystems are of great importance and of immense value to mankind in the present and in the future. They are being degraded at an alarming rate by various preventable activities including that of human interference. The coastal ecosystems are to be monitored periodically for better management plans. The satellite based sensors provide valuable information useful in assessment, monitoring and management of coastal ecosystems. Optical remote sensing data is very useful for mapping the coral reef, mangrove and lagoon ecosystems. The information, which is thus derived, can be very useful in the coastal ecosystem management, which is greatly required for the sustainable use, development, and protection of the coastal and marine areas and resources. Thus remote sensing and GIS technologies are widely used today in coastal ecosystem management.

References

Bastin. J. (1988). Measuring areas of coral reefs using satellite imagery, Symposium on Remote Sensing of the Coastal Zone, Gold Coast Queensland. p vii.1.1vii.1.9.
Hussin. Y.A, Mahfud, M. and Zuhair Michael Weir (1999). Monitoring Mangrove Forests using Remote Sensing and GIS. GIS development proceedings, ACRS.
IGBP (1994). LandOcean Interactions in the Coastal Zone, Report No. 33. p74.
IOM report (2001). No Impact Zone Studies in Pulicat Lake. Submitted to Dept. of Ocean Development, Govt. of India.
Ramachandran. S. (1993). Coastal Zone Information System – Pilot project for Rameswaram area. Report submitted to Department of Ocean Development. Govt. of India, 40 pp.